Jumat, 19 November 2010

Memahami Retorika dalam Dialektika Komunikasi Oleh : Muhammad Khairil*

Memahami Retorika dalam Dialektika Komunikasi
Oleh : Muhammad Khairil*

PEPATAH klasik mengingatkan bahwa “berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda”. Pepatah tersebut dipertegas oleh Martin Luther bahwa “siapa yang pandai bicara maka dialah manusia. Sebab berbicara adalah kebijaksanaan dan kebijaksanaan adalah berbicara”. Bicara menunjukkan bangsa, bicara juga mengungkapkan apakah anda orang terpelajar atau kurang ajar. Quintillianus mengatakan bahwa “tidak ada anugerah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa selain keluhuran berbicara”.

“Ilmu bicara” dikenal sebagai retorika. Retorika berarti seni untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Art bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik dan dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya dituntut berbicara lancer, namun lebih pada kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, padat, jelas dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat.

Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Itu berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat waktu dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek. Dalam konteks ini sebuah pepatah mengungkapkan bahwa “Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara seperti halnya orang yang menebak banyak belum tentu penebak yang baik dan benar”.

Dalam pemaknaannya, retorika diambil dari bahasa Inggris rhetoric bersumber dari perkataan latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Sedangkan Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren dalam bukunya Modern Rhetoric mendefenisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif. Hampir senada dengan hal tersebut Aristoteles mengartikan retorika sebagai The art of persuasion.

Perspektif retorika tentang komunikasi antarpersonal menyatakan bahwa konsep dan prinsip tradisonal retorika untuk mempengaruhi masyarakat, sama baiknya diterapkan pada komunikasi yang akrab dan antarpersonal. Substansi retorika bertujuan fungsional. Menurut Harold Barrett (1996) bahwa pemakai retorika berusaha “agar efektif, untuk mendapatkan jawaban, menjadi orang, dikenali, didengarkan, dishahihkan, dimengerti dan diterima”. Tujuan interaksi retoris merupakan dasar bersama tempat menjalin hubungan secara sukses. Orang-orang dalam komunikasi antarpersonal, (masih menurut Barret) harus berusaha keras supaya efektif dan etis, setiap saat menunjukkan penghargaan terhadap keberadaan orang lain, penghargaan terhadap nilai intrinsic mereka sebagai manusia.

Secara substansial terdapat beberapa faktor situasional yang mempengaruhi proses komunikasi dan persepsi seseorang dalam interaksi antarpersonalnya yaitu pertama, deskripsi verbal adalah penggambaran secara langsung tentang seseorang. Ketika seseorang menceritakan bahwa “wanita itu tinggi, putih, cerdas, rajin, lincah dan kritis” maka sudah terbayang bahwa wanita itu cantik, bahagia, humoris dan pandai bergaul (pada saat membayangkan maka deskripsi verbal telah berlangsung).

Kedua, Proksemik yaitu studi tentang penggunaan jarak dalam penyampaian pesan. “ Ketika Saudara menghadap seorang pejabat lalu Ia mempersilakan saudara duduk pada kursi yang tersedia sementara Ia duduk jauh dari saudara bahkan dihalangi oleh meja lebar maka saudara mempersepsikan bahwa pejabat tersebut sebagai orang yang tidak begitu terbuka sehingga saudara lebih berhati-hati berbicara dengannnya. Ketiga, Kinesik adalah ekspresi sikap dan gerak tubuh seseorang. Untuk memperjelas tentang kinesik, maka silakan pembaca jawab pertanyaan, bagaimana pendapat dan penilaian saudara ketika seseorang berbicara terpatah-patah, kedua telapak tangannya saling meremas dan diletakkan di atas kedua paha yang dirapatkan? (Jawaban pembaca merupakan persepsi yang didasarkan atas kinesik).

Keempat, Paralinguistik yaitu cara bagaimana seseorang mengucapkan lambang-lambang verbal, meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara dan proses bagaimana menyampaikan pesan. Tempo bicara yang lambat, ragu-ragu, dan tersendat-sendat akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri atau “kebodohan”. Kelima, artifaktual yaitu meliputi segala macam penampilan mulai dari potongan rambut, kosmetik yang dipakai, baju, tas, kendaraan dan atribut-atribut lainnya. Persepsi bahwa seseorang kaya karena Ia mengendari mobil mewah, potongan rambut yang rapi, menggunakan jas dan berbagai atribut parlente lainnya (padahal tahukah saudara bahwa ia hanya seorang supir!).

Semua orang merindukan bisa menjelaskan sesuatu dengan baik, namun tidak semua bisa melakukannya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dipelajari, keterbatasan kesungguhan untuk melatih diri, dan keterbatasan dari kegigihan serta semangat. Itulah hal yang terkadang membuat kualitas dalam penyampaian sesuatu tidak meningkat.

Kemampuan menyampaikan ide hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri. Artinya sebuah ide yang baik, menarik dan penting ternyata akan kurang bermakna jika disampaikan oleh seseorang yang kemampuan komunikasinya terbatas. Sebaliknya, ide yang sederhana bahkan kurang penting akan terkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik komunikasi yang baik.

Peningkatan penyajian informasi dalam dialektika retoris-etis antarpersonal dapat dilakukan melalui pemaparan fakta yaitu pernyataan yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar. Ada tiga kriteria yang dijadikan tolak ukur yaitu pertama relevancy adalah fakta yang diungkapkan bermanfat atau relevan dengan kepentingan pembicara dan pendengar. Kedua, Sufficiency yaitu fakta dapat mendukung gagasan utama dalam pembicaraan. Ketiga atau yang terakhir adalah Plausibility yaitu sumber-sumber fakta harus dapat dipercaya nilai kebenarannya.

Sebagai refleksi akhir dalam tulisan ini mengingat kembali tentang seorang kopral kecil, veteran Perang Dunia II berhasil naik menjadi kaisar Jerman. Dalam bukunya Main Kampf dengan tegas Hitler mengatakan bahwa keberhasilannya disebabkan oleh kemampuannya berbicara. Ich Konnte reden, ungkapnya. Lebih lanjut Ia mengungkapkan bahwa Jede Grosse Bewegung Auf Dieser Erde Verdankt ihr Wachsen den grosseren rednern und nicht den grossen schreibern (setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan oleh jago-jago tulisan).

* Muhammad Khairil, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Untad dan Saat ini Sedang Menempuh Program Pascasarjana (Doktoral/S3) Ilmu Komunikasi di Universitas Padjdjaran Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar